Home » » Sejarah Berdirinya Majlis Tarjih

Sejarah Berdirinya Majlis Tarjih


Sejarah Berdirinya Majlis Tarjih

Pada waktu berdirinya Persyarikatan Muhammdiyah ini , tepatnya pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M, Majlis Tarjih belum ada, mengingat belum banyaknya masalah yang di hadapi oleh Persyarikatan. Namun lambat laun, seiring dengan berkembangnya Persyarikatan ini, maka kebutuhan-kebutuhan internal Persyarikatan ini ikut berkembang juga, selain semakin banyak jumlah anggotanya yang kadang memicu timbulnya perselisihan paham mengenai masalah-masalah keagamaan, terutama yang berhubungan dengan fiqh. Untuk mengantisipasi meluasnya perselisihan tersebut, serta menghindari adanya peperpecahan antar warga Muhammadiyah, maka para pengurus persyarikatan ini melihat perlu adanya lembaga yang memiliki otoritas dalam bidang hukum. Maka pada tahun 1927 M , melalui keputusan konggres ke 16 di Pekalongan, berdirilah lembaga tersebut yang di sebut Majlis Tarjih Muhammdiyah.

Tersebut di dalam majalah Suara Muhammadiyah no.6/1355( 1936 ) hal 145 :
“ ….bahwa perselisihan faham dalam masalah agama sudahlah timbul dari dahulu, dari sebelum lahirnja Muhammadijah : sebab-sebabnja banjak , diantaranja karena masing-masing memegang teguh pendapat seorang ulama atau jang tersebut di suatu kitab, dengan tidak suka menghabisi perselisihannja itu dengan musjawarah dan kembali kepada Al Qur’an , perintah Tuhan Allah dan kepada Hadits, sunnah Rosulullah.
Oleh karena kita chawatir, adanja pernjeknjokan dan perselisihan dalam kalangan Muhammadijah tentang masalah agama itu, maka perlulah kita mendirikan Madjlis Tardjih untuk menimbang dan memilih dari segala masalah jang diperselisihkan itu jang masuk dalam kalangan Muhammadijah manakah jang kita anggap kuat dan berdalil benar dari Al qur’an dan hadits. “
Sejak berdirinya pada tahun 1927 M, Majlis Tarjih telah dipimpin oleh 8 Tokoh Muhammadiyah, yaitu :
1. KH. Mas Mansur
2. Ki Bagus Hadikusuma
3. KH. Ahmad Badawi
4. Krt. KH. Wardan Diponingrat
5. KH. Azhar Basyir
6. Prof. Drs. Asjmuni Abdurrohman ( 1990-1995 )
7. Prof. Dr. H. Amin Abdullah ( 1995-2000)
8. Dr. H. Syamsul Anwar , MA ( 2000-2005 )

Kedudukan dan Tugas Majlis Tarjih dalam Persyarikatan.

Majlis Tarjih ini mempunyai kedudukan yang istimewa di dalam Persyarikatan, karena selain berfungsi sebagai Pembantu Pimpinan Persyarikatan, mereka memiliki tugas untuk memberikan bimbingan keagamaan dan pemikiran di kalangan umat Islam Indonesia pada umumnya dan warga persyarikatan Muhammadiyah khususnya. Sehingga, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Majlis Tarjih ini merupakan ‘ Think Thank “ –nya Muhammadiyah. Ia bagaikan sebuah “ processor “ pada sebuah komputer, yang bertugas mengolah data yang masuk sebelum dikeluarkan lagi pada monitor.
Adapun tugas-tugas Majlis Tarjih, sebagaimana yang tertulis dalam Qa’idah Majlis Tarjih 1961 dan diperbaharuhi lewat keputusan Pimpinan Pusat Muhammdiyah No. 08/SK-PP/I.A/8.c/2000, Bab II pasal 4 , adalah sebagai berikut :

1. Mempergiat pengkajian dan penelitian ajaran Islam dalam rangka pelaksanaan tajdid dan antisipasi perkembangan masyarakat.
2. Menyampaikan fatwa dan pertimbangan kepada Pimpinan Persyarikatan guna menentukan kebijaksanaan dalam menjalankan kepemimpinan serta membimbing umat , khususnya anggota dan keluarga Muhammadiyah.
3. Mendampingi dan membantu Pimpinan Persyarikatan dalam membimbing anggota melaksanakan ajaran Islam
4. Membantu Pimpinan Persyarikatan dalam mempersiapkan dan meningkatkan kualitas ulama.
5. Mengarahkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat.

Manhaj Tarjih
Sejak tahun 1935 upaya perumusan Manhaj Tarjih Muhammadiyah telah dimulai, dengan surat edaran yang dikeluarkan oleh Hoofdbestuur(Pimpinan Pusat) Muhammadiyah. Langkah pertama kali yang ditempuh adalah dengan mengkaji “ Mabadi’ Khomsah “( Masalah Lima ) yang merupakan sikap dasar Muhammadiyah dalam persoalan agama secara umum. Karena adanya penjajahan Jepang dan perang kemerdekaan , perumusan Masalah Lima tersebut baru bisa diselengarakan pada akhir tahun 1954 atau awal 1955 dalam Muktamar Khusus Majlis Tarjih di Yogyakarta.
Masalah Lima tersebut meliputi :
1.Pengertian Agama (Islam) atau al Din , yaitu :
“ Apa yang diturunkan Allah dalam Al Qur’an dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akherat.

2.Pengertian Dunia (al Dunya ):
“ Yang dimaksud urusan dunia dalam sabda Rosulullah saw : “ Kamu lebih mengerti urusan duniamu “ ialah :segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para nabi ( yaitu perkara-perkara/pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia )

3. Pengertian Al Ibadah, ialah :
“ Bertaqarrub ( mendekatkan diri ) kepada Allah,dengan jalan mentaati segala perintah-perintahnya, menjahuhi larangan-larangan-nya dan mengamalkan segala yang diijinkan Allah. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus ; a. yang umum ialah segala amalan yang diijinkan Allah b. Yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya, tingkat dan cara-caranya yang tertentu.

4. Pengertian Sabilillah, ialah :
“ Jalan yang menyampaikan perbuatan seseorang kepada keridloaan Allah, berupa segala amalan yang diijinkan Allah untuk memuliakan kalimat( agama )-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya

5.Pengertian Qiyas, (Ini belum dijelaskan secara rinci baik pengertian maupun pelaksanaannya )

Karena Masalah Lima tersebut, masih bersifat umum, maka Majlis Tarjih terus berusaha merumuskan Manhaj untuk dijadikan pegangan di dalam menentukan hukum. Dan pada tahun 1985-1990, yaitu tepatnya pada tahun 1986, setelah Muktamar Muhammadiyah ke- 41 di Solo, Majlis Tarjih baru berhasil merumuskan 16 point pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah.
Adapun Pokok-pokok Manhaj Majlis Tarjih ( disertai keterangan singkat )adalah sbb :
1Di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al Qur’an dan al Sunnah al Shohihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat dalam nash , dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbudi, dan memang hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majlis Tarjih menerima Ijitihad , termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara langsung. ( Majlis tarjih di dalam berijtihad menggunakan tiga macam bentuk ijtihad : Pertama : IjtihadBayani : yaitu ( menjelaskan teks Al Quran dan hadits yang masih mujmal, atau umum, atau mempunyai makna ganda , atau kelihatan bertentangan, atau sejenisnya), kemudian dilakukan jalan tarjih. Sebagai contohnya adalah Ijtihad Umar untuk tidak membagi tanah yang di taklukan seperti tanah Iraq, Iran , Syam, Mesir kepada pasukan kaum muslimin, akan tetapi dijadikan “Khoroj” dan hasilnya dimasukkan dalam baitul mal muslimin , dengan berdalil Qs Al Hasyr ; ayat 7-10. Kedua : Ijtihad Qiyasi : yaitu penggunaan metode qiyas untuk menetapkan ketentuan hukum yang tidak di jelaskan oleh teks Al Quran maupun Hadist, diantaranya : men qiyaskan zakat tebu, kelapa, lada ,cengkeh, dan sejenisnya dengan zakat gandum, beras dan makanan pokok lainnya, bila hasilnya mencapai 5 wasak ( 7,5 kwintal ) Ketiga : Ijtihad Istishlahi : yaitu menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara khusus dengan berdasarkan illat , demi untuk kemaslahatan masyarakat, seperti ; membolehkan wanita keluar rumah dengan beberapa syarat, membolehkan menjual barang wakaf yang diancam lapuk, mengharamkan nikah antar agama dll
2. Dalam memutuskan sesuatu keputusan, dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihad, digunakan sistem ijtihad jama’I. Dengan demikian pendapat perorangan dari anggota majlis, tidak dipandang kuat.( Seperti pendapat salah satu anggota Majlis Tarjih Pusat yang pernah dimuat di dalam majalah Suara Muhammadiyah, bahwa dalam penentuan awal bulan Ramadlan dan Syawal hendaknya menggunakan Mathla’ Makkah. Pendapat ini hanyalah pendapat pribadi sehingga tidak dianggap kuat. Yang diputuskan dalam Munas Tarjih di Padang Oktober 2003, bahwa Muhammadiyah menggunakan Mathla’ Wilayatul Hukmi )
3. Tidak mengikatkan diri kepada suatu madzhab, akan tetapi pendapat-pendapat madzhab, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan hukum. Sepanjang sesuai dengan jiwa Al Qur’an dan al – Sunnah, atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat. ( Seperti halnya ketika Majlis Tarjih mengambil pendapat Mutorif bin Al Syahr di dalam menggunakan Hisab ketika cuaca mendung, yaitu di dalam menentukan awal bulan Ramadlan. Walaupun pendapatnya menyelisihi Jumhur Ulama. Sebagai catatan : Rumusan di atas,menunjukkan bahwa Muhammadiyah, telah menyatakan diri untuk tidak terikat dengan suatu madzhab, dan hanya menyandarkan segala permasalahannya pada Al-Qur’an dan Hadits saja. Namun pada perkembangannya, Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang mempunyai pengikut cukup banyak, secara tidak langsung telah membentuk madzhab sendiri, yang disebut “ Madzhab Muhammadiyah “, ini dikuatkan dengan adanya buku panduan seperti HPT ( Himpunan keputusan Tarjih ).
4. Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya majlis Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil- dalil yang dipandang paling kuat, yang di dapat ketika keputusan diambil. Dan koreksi dari siapapun akan diterima. Sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian, Majlis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan. ( Seperti halnya pencabutan larangan menempel gambar KH. Ahamd Dahlan karena kekawatiran tejadinya syirik sudah tidak ada lagi , pencabutan larangan perempuan untuk keluar rumah dll)
5. Di dalam masalah aqidah ( Tauhid ) , hanya dipergunakan dalil-dalil mutawatir. ( Keputusan yang membicarakan tentang aqidah dan iman ini dilaksanakan pada Mukatamar Muhammadiyah ke- 17 di Solo pada tahun 1929. Namun rumusan di atas perlu ditinjau ulang. Karena mempunyai dampak yang sangat besar pada keyakinan sebagian besar umat Islam, khususnya kepada warga Muhammadiyah. Hal itu, karena rumusan tersebut mempunyai arti bahwa Persyarikatan Muhammadiyah menolak beratus-ratus hadits shohih yang tercantum dalam Kutub Sittah, hanya dengan alasan bahwa hadits ahad tidak bisa dipakai dalam masalah aqidah. Ini berarti juga, banyak dari keyakinan kaum muslimin yang selama ini dipegang erat akan tergusur dengan rumusan di atas, sebut saja sebagai contoh : keyakinan adanya adzab kubur dan adanya malaikat munkar dan nakir, syafa’at nabi Muhammad saw pada hari kiamat, sepuluh sahabat yang dijamin masuk syurga, adanya timbangan amal, ( siroth )jembatan yang membentang di atas neraka untuk masuk syurga, ( haudh ) kolam nabi Muhammad saw, adanya tanda- tanda hari kiamat sepeti turunnya Isa, keluarnya Dajjal. Rumusaan di atas juga akan menjerat Persyarikatan ini ke dalam kelompok Munkiru al-Sunnah , walau secara tidak langsung.
6. Tidak menolak ijma’ sahabat sebagai dasar suatu keputusan. ( Ijma’ dari segi kekuatan hukum dibagi menjadi dua , pertama : ijma’ qauli, seperti ijma’ para sahabat untuk membuat standarisasi penulisan Al Qur’an dengan khot Utsmani, kedua : ijma’ sukuti. Ijma’ seperti ini kurang kuat. Dari segi masa, Ijma’ dibagi menjadi dua : pertama : ijma’ sahabat. Dan ini yang diterima Muhammadiyah. Kedua ; Ijma’ setelah sahabat )
7. Terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung ta’arudl, digunakan cara “al jam’u wa al taufiq “. Dan kalau tidak dapat , baru dilakukan tarjih. ( Cara-cara melakukan jama’ dan taufiq, diantaranya adalah : Pertama : Dengan menentukan macam persoalannya dan menjadikan yang satu termasuk bagian dari yang lain. Seperti menjama’ antara QS Al Baqarah 234 dengan QS Al Thalaq 4 dalam menentukan batasan iddah orang hamil , Kedua : Dengan menentukan yang satu sebagai mukhashis terhadap dalil yang umum, seperti : menjama’ antara QS Ali Imran 86,87 dengan QS Ali Imran 89, dalam menentukan hukum orang kafir yang bertaubat, seperti juga menjama’ antara perintah sholat tahiyatul Masjid dengan larangan sholat sunnah ba’da Ashar, Ketiga: Dengan cara mentaqyid sesuatu yang masih mutlaq , yaitu membatasi pengertian yang luas, seperti menjama; antara larangan menjadikan pekerjaan membekam sebagai profesi dengan ahli bekam yang mengambil upah dari pekerjaanya. Keempat: Dengan menentukan arti masing-masing dari dua dalil yang bertentangan, seperti : menjama’ antara pengertian suci dari haid yang berarti bersih dari darah haid dan yang berarti bersih sesudah mandi. Kelima : Menetapkan masing-masing pada hukum masalah yang berbeda, seperti larangan sholat di rumah bagi yang rumahnya dekat masjid dengan keutamaan sholat sunnah di rumah.
8. Menggunakan asas “ saddu al-daraI’ “ untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah. .( Saddu al dzara’I adalah perbuatan untuk mencegah hal-hal yang mubah, karena akan mengakibat kepada hal-hal yang dilarang. Seperti : Larangan memasang gambar KH. Ahmad Dahlan, sebagai pendiri Muhammadiyah, karena dikawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan. Walaupun akhirnya larangan ini dicabut kembali pada Muktamar Tarjih di Sidoarjo, karena kekawatiran tersebut sudah tidak ada lagi. Contoh lain adalah larangan menikahi wanita non muslimah ahli kitab di Indonesia, karena akan menyebabkan finah dan kemurtadan. Keputusan ini ditetapkan pada Muktamar Tarjih di Malang 1989.
9. Men-ta’lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil- dalil Al Qur’an dan al Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syare’ah. Adapunqaidah : “ al hukmu yaduuru ma’a ‘ilatihi wujudan wa’adaman” dalam hal-hal tertentu , dapat berlaku “ ( Ta’lil Nash adalah memahami nash Al Qur’an dan hadits, dengan mendasarkan pada illah yang terkandung dalam nash. Seperti perintah menghadap arah Masjid Al Haram dalam sholat, yang dimaksud adalah arah ka’bah, juga perintah untuk meletakkan hijab antara laki-laki dan perempuan, yang dimaksud adalah menjaga pandangan antara laki-laki dan perempuan, yang pada Muktamar Majlis Tarjih di Sidoarjo 1968 diputuskan bahwa pelaksanaannya mengikuti kondisi yang ada, yaitu pakai tabir atau tidak, selama aman dari fitnah )
10. Pengunaaan dalil- dalil untuk menetapkan suatu hukum , dilakukan dengan cara konprehensif , utuh dan bulat. Tidak terpisah. ( Seperti halnya di dalam memahami larangan menggambar makhluq yang bernyawa,jika dimaksudkan untuk disembah atau dikawatirkan akan menyebabkan kesyirikan )
11. Dalil –dalil umum al Qur’an dapat ditakhsis dengan hadist Ahad, kecuali dalam bidang aqidah. ( Lihat keterangan dalam point ke 5 )
12. Dalam mengamalkan agama Islam, mengunakan prinsip “Taisir “ ( Diantara contohnya adalah : dzikir singkat setelah sholat lima waktu, sholat tarawih dengan 11 rekaat )
13. Dalam bidang Ibadah yang diperoleh ketentuan- ketentuannya dari Al Qur’an dan al Sunnah, pemahamannya dapat dengan menggunakan akal, sepanjang dapat diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui ,akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapai situsi dan kondisi. ( Contohnya, adalah ketika Majlis Tarjih menentukan awal Bulan Ramadlan dan Syawal, selain menggunakan metode Rukyat,juga menggunakan metode al Hisab. Walaupun pelaksanaan secara rinci terhadap keputusan ini perlu dikaji kembali karena banyak menimbulkan problematika pada umat Islam di Indonesia )
14. Dalam hal- hal yang termasuk “al umur al dunyawiyah” yang tidak termasuk tugas para nabi , penggunaan akal sangat diperlukan, demi kemaslahatan umat.
15. Untuk memahami nash yang musytarak, paham sahabat dapat diterima.
16. Dalam memahani nash , makna dlahir didahulukan dari ta’wil dalam bidang aqidah. Dan takwil sahabat dalam hal ini, tidak harus diterima. (Seperti dalam memahami ayat-ayat dan hadist yang membicarakan sifat-sifat dan perbuatan Allah swt,seperti Allah bersemayam d atas Arsy, Allah turun ke langit yang terdekat dengan bumi pada sepertiga akhir malam dll ) 





A. Pengertian

Manhaj tarjih secara harfiah berarti cara melakukan tarjih. Sebagai sebuah istilah, manhaj tarjih lebih dari sekedar “cara mentarjih.” Istilah tarjih sendiri sebenarnya berasal dari disiplin ilmu usul fikih. Dalam ilmu usul fikih tarjih berarti melakukan penilaian terhadap suatu dalil syar’i yang secara zahir tampak bertentangan untuk menentukan mana yang lebih kuat. Atau juga diartikan sebagai evaluasi terhadap berbagai pendapat fikih yang sudah ada mengenai suatu masalah untuk menentukan mana yang lebih dekat kepada semangat al-Quran dan as-Sunnah dan lebih maslahat untuk diterima. Sebagai demikian, tarjih merupakan salah satu tingkatan ijtihad dan merupakan ijtihad paling rendah. Dalam usul fikih, tingkat-tingkat ijtihad meliputi ijtihad mutlak (dalam usul dan cabang), ijtihad dalam cabang, ijtihad dalam mazhab, dan ijtihad tarjih.
Dalam lingkungan Muhammadiyah pengertian tarjih telah mengalami pergeseran makna dari makna asli dalam disiplin usul fikih. Dalam Muhammadiyah dengan tarjih tidak hanya diartikan kegiatan sekedar kuat-menguatkan suatu pendapat yang sudah ada, melainkan jauh lebih luas sehingga identik atau paling tidak hampir identik dengan kata ijtihad itu sendiri. Dalam lingkungan Muhammadiyah tarjih diartikan sebagai “setiap aktifitas intelektual untuk merespons realitas sosial dan kemanusiaan dari sudut pandang agama Islam, khususnya dari sudut pandang norma-norma syariah.” Oleh karena itu bertarjih artinya sama atau hampir sama dengan melakukan ijtihad mengenai suatu masalah dilihat dari perspektif agama Islam. Hal ini terlihat dalam berbagai produk tarjih seperti putusan tentang etika politik dan etika bisnis (Putusan Tarjih 2003), masalah-masalah perempuan seperti dalam Adabul Marah fil-Islam (Putusan Tarjih 1976), fatwa tentang face book yang sudah dibuat Majelis Tarijih dan Tajdid dan akan segera dimuat dalam Suara Muhammadiyah. Jadi tarjih tidak hanya sekedar menguatkan salah satu pendapat yang ada.
Adalah jelas bahwa tarjih itu tidak dilakukan secara serampangan, melainkan berdasarkan kepada asas-asas dan prinsip tertentu. Kumpulan prinsip-prinsip dan metode-metode yang melandasi kegiatan tarjih itu dinamakan manhaj tarjih (metodologi tarjih).
B. Semangat Tarjih: Tajdid

            Metodologi tarjih memuat unsur-unsur yang meliputi wawasan/semangat, sumber, pendekatan, dan prosedur-prosedur tehnis (metode). Tarjih sebagai kegiatan intelektual untuk merespons berbagai persoalan dari sudut pandang syariah tidak sekedar bertumpu pada sejumlah prosedur tehnis an sich, melainkan juga dilandasi oleh semangat pemahaman agama yang menjadi karakteristik pemikiran Islam Muhammadiyah. Semangat yang menjadi karakteristik pemikiran Islam Muhammadiyah dimaksud diingat dalam memori kolektif orang Muhammadiyah dan akhir-akhir ini dipatrikan dalam dokumen resmi. Semangat tersebut meliputi tajdid, toleran, terbuka, dan tidak berafiliasi mazhab tertentu.
Semangat/wawasan tajdid ditegaskan sebagai identitas umum gerakan Muhammadiyah termasuk pemikirannya di bidang keagamaan. Ini ditegaskan dalam pasal 4 ayat (1) ADM, “Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber kepada al-Quran dan as-Sunnah” (italic dari penulis). Tajdid menggambarkan orientasi dari kegiatan tarjih dan corak produk ketarjihan.
Tajdid mempunyai dua arti:
a. Dalam bidang akidah dan ibadah, tajdid bermakna pemurnian dalam arti mengembalikan akidah dan ibadah kepada kemurniannya sesuai dengan Sunnah Nabi saw.
b. Dalam bidang muamalat duniawiah, tajdid berarti mendinamisasikan kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif sesuai tuntutan zaman.
Pemurnian ibadah berarti menggali tuntunannya sedemikian rupa dari Sunnah Nabi saw untuk menemukan bentuk yang paling sesuai atau paling mendekati Sunnah beliau. Mencari bentuk paling sesuai dengan Sunnah Nabi saw tidak mengurangi arti adanya tanawwu‘ dalam kaifiat ibadah itu sendiri, sepanjang memang mempunyai landasannya dalam Sunnah. Misalnya adanya variasi dalam bacaan doa iftitah dalam salat, yang menunjukkan bahwa Nabi saw sendiri melakukannya bervariasi. Varian ibadah yang tidak didukung oleh Sunnah menurut Tarjih tidak dapat dipandang praktik ibadah yang bisa diamalkan.
Berkaitan dengan akidah, pemurnian berarti melakukan pengkajian untuk membebaskan akidah dari unsur-unsur khurafat dan tahayul.
Tajdid di bidang muamalat duniawiyah (bukan akidah dan ibadah khusus), berarti mendinamisakikan kehidupan masyarakat sesuai dengan capaian kebudayaan yang dicapai manusia di bawah semangat dan ruh al-Quran dan Sunnah. Bahkan dalam aspek ini beberapa norma di masa lalu dapat berubah bila ada keperluaan dan tuntutan untuk berubah. Misalnya di zaman lampau untuk menentukan masuknya bulan kamariah baru, khususan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah, digunakan rukyat sesuai dengan hadis-hadis rukyat dalam mana Nabi saw memerintah melakukan rukyat. Namun pada zaman sekarang tidak lagi digunakan rukyat melainkan hisab, sebagaimana dipraktikkan dalam Muhammadiyah. Contoh lain, di masa lalu perempuan tidak dibolehkan menjadi pemimpin karena hadis Abu Bakrah yang melarangnya, maka di zaman sekarang terjadi perubahan ijtihad hukum di mana perempuan boleh menjadi pemimpin sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Tarjih tentang Adabul Mar’ah fil-Islam.
Perubahan itu dapat dilakukan dengan memenuhi beberapa syarat, yaitu (1) ada tuntutan untuk berubah dalam rangka dinamisasi kehidupan masyarakat, (2) perubahan baru harus berlandaskan suatu kaidah syariah juga, (3) masalahnya menyangkut muamalat duniawiah, bukan menyangkut ibadah murni (khusus), dan (4) ketentuan lama bukan merupakan penegasan yang Qat‘³.
Toleran artinya bahwa putusan Tarjih tidak menganggap dirinya saja yang benar, sementara yang lain tidak benar. Dalam “Penerangan tentang Hal Tarjih” yang dikeluarkan tahun 1936, dinyatakan, “Keputusan tarjih mulai dari merundingkan sampai kepada menetapkan tidak ada sifat perlawanan, yakni menentang atau menjatuhkan segala yang tidak dipilih oleh Tarjih itu” [HPT: 371].
Terbuka artinya segala yang diputuskan oleh tarjih dapat dikritik dalam rangka melakukan perbaikan, di mana apabila ditemukan dalil dan argumen lebih kuat, maka Majelis Tarjih akan membahasnya dan mengoreksi dalil dan argumen yang dinilai kurang kuat. Dalam “Penerangan tentang Hal Tarjih” ditegaskan, “Malah kami berseru kepada sekalian ulama supaya suka membahas pula akan kebenaran putusan Majelis Tarjih itu di mana kalau terdapat kesalahan atau kurang tepat dalilnya diharap supaya diajukan, syukur kalau dapat mermberikan dalil yang lebih kuat dan terang, yang nanti akan dipertimbangkan pula, diulang penyelidikannya, kemudian kebenarannya akan ditetapkan dan digunakan. Sebab waktu mentarjihkan itu ialah menurtut sekedar pengertian dan kekuatan kita pada waktu itu” [HPT: 371-372].

            Tidak berafiliasi mazhab artinya tidqak mengikuti mazhab tertentu, melainkan dalam berijtihad bersumber kepada al-Quran dan as-Sunnah dan metode-metode ijtihad yang ada. Namun juga tidak sama sekali menafikan berbagai pendapat fukaha yang ada. Pendapat-pendapat mereka itu dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan diktum norma/ajaran yang lebih sesuai dengan semangat di mana kita hidfup.
C. Sumber-sumber Ajaran Agama

            Manhaj (metodologi) tarjih juga mengandung pengertin sumber-sumber pengambilan norma agama. Sumber agama adalah al-Quran dan as-Sunnah yang ditegaskan dalam sejumlah dokumen resmi Muhammadiyah,
1. Pasal 4 ayat (1) Anggran Dasar Muhammadiyah yang telah dikutip di atas yang menyatakan bahwa gerakan Muhammadiyah bersumber kepada dua sumber tersebut.
2.   Putusan Tarjih Jakarta 2000 Bab II angka 1 menegaskan, “Sumber ajaran Islam adalah al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbūlah (السنة المقبولة).” Putusan Tarijih ini merupakan penegasan kembali apa yang sudah ditegaskan dalam putusan-putusan tedahulu (HPT, h. 278),
الأَصْلُ فِي التَّشْرِيْعِ اْلإِسْلاَمِيِّ عَلَى اْلإِطْلاَقِ هُوَ اْلقُرْآنُ اْلكَرِيْمُ وَالْحَدِيْثُ الشَّرِيْفُ .
Artinya:
Dasar mutlak dalam penetapan hukum Islam adalah al-Qur’an dan al-Hadits asy-Syarif.

Mengenai hadis (sunnah) yang dapat menjadi hujah adalah sunnah makbulah seperti ditegaskan dalam Putusan Tarjih Jakarta tahun 2000. Istilah sunnah makbulah merupakan perbaikan terhadap rumusan lama dalam HPT tentang definisi agama Islam yang menggunakan ungkapan “sunnah sahihah”. Istilah sunnah sahihah sering menimbulkan salah faham dengan mengindektikkannya dengan hadis sahih. Akibatnya hadis hasan tidak diterima, pada hal sudah menjadi ijmak seluruh umat Islam bahwa hadis hasan juga menjadi hujah agama. Oleh karena itu untuk menghindarkan salah faham tersebut rumusan itu diperbaiki sesuai dengan maksud sebenarnya rumusan bersangkutan, yaitu bahwa yang dimaksud dengan sunnah sahihah adalah sunnah yang bisa menjadi hujah, yaitu hadis sahih dan hadis hasan. Karenanya dalam rumusan baru dikatakan “sunnah makbulah”, yang berarti sunnah yang dapat diterima sebagai hujah agama, baik berupa hadis sahih dan maupun hadis hasan.
Hadis daif tidak dapat dijadikan hujah syar’iah. Namun ada suatu perkecualian di mana hadis daif bisa juga menjadi hujah, yaitu apabila hadis tersebut:
1)   banyak jalur periwayatannya sehingga satu sama lain saling menguatkan,
2) ada indikasi berasal dari nabi saw,
3) tidak bertentangan dengan al-Quran,
4) tidak bertentangan dengan hadis lain yang sudah dinyatakan sahih,
5)   kedaifannya bukan karena rawi hadis bersangkutan tertuduh dusta dan pemalsu hadis.
Dalam Putusan Tarjih (HPT, h. 301) ditegaskan,
الأَحاَدِيْثُ الضَّعِيْفَةُ يَعْضَدُ بَعْضُهاَ بَعْضًا لاَ يُحْتَجُّ بِهاَ إِلاَّ مَعَ كَثْرَةِ طُرُقِهاَ وَفِيْهاَ قَرِيْنَةٌ تَدُلُّ عَلَى ثُبُوْتِ أَصْلِهاَ وَلَمْ تُعاَرِضِ اْلقُرْآنَ وَالْحَدِيْثَ الصَّحِيْحَ .
Hadis-hadis daif yang satu sama lain saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah kecuali apabila banyak jalannya dan padanya terdapat karinah yang menunjukkan keotentikan asalnya serta tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis sahih.
D. Prosedur Tehnis (Metode)

1. Metode Ijtihad
Metode untuk menemukan suatu norma syariah menggunakan ijtihad, dan dalam praktik Muhammadiyah biasanya digunakan ijtihad kolektif. Penegasan penggunaan ijtihad ini tersirat dalam rumusan tentang qiyas dalam HPT, di mana ditegaskan.
وَمَتىَ اسْتَدْعَتِ الظُّرُوْفُ عِنْدَ مُواَجَهَةِ أُمُوْرٍ وَقَعَتْ وَدَعَتِ اْلحاَجَةُ إِلىَ اَْلعَمَلِ بِهاَ وَلَيْسَتْ هِيَ مِنْ أُمُوْرِ اْلعِبَادَاتِ اْلمَحْضَةِ وَلمَ ْيَرِدْ فِيْ حُكْمِهاَ نَصٌّ صَرِيْحٌ مِنَ اْلقُرْآنِ أَوِ السُّنَّةِ الصَّحِيْحَةِ فَاْلوُصُوْلُ إِلىَ مَعْرِفَةِ حُكْمِهاَ عَنْ طَرِيْقِ اْلاِجْتِهاَدِ وَاْلاِسْتِنْباَطِ مِنَ النُّصُوْصِ اْلوَارِدَةِ عَلَى أَساَسِ تَساَوِي اْلعِلَلِ كَماَ جَرَى عَلَيْهِ اْلعَمَلُ عِنْدَ عُلَماَءِ السَّلَفِ وَاْلخَلَفِ .
Artinya:
Bilamana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan ibadah mahdah pada hal untuk alasannya tidak terdapat nash yang sharih di dalam al-Qur’an atau Sunnah shahihah, maka jalan untuk mengetahui hukumnya adalah melalui ijtihad dan istinbat dari nash-nash yang ada berdasarkan persamaan ‘illat sebagai mana telah dilakukan oleh ulama salaf dan khalaf.
Teks putusan ini sebenarnya menjelaskan bahwa qiyas dapat digunakan dalam menemukan hukum syar’i, namun terbatas dalam hal yang tidak menyangkut ibadah mahdah (murni). Namun dalam teks ini tersirat penggunaan ijtihad, dan satu satu bentuk ijtihad itu adalah qiyas.
Dalam praktik Muhammadiyah (Tarjih) metode-metode ijtihad lainnya seperti penggunaan maslahah, istihsan dan lain-lain juga dapat dilakukan. Misalnya dalam fatwa Tarjih tentang penjatuhan talak di rumah secara sepihak oleh suami dinyatakan tidak berlaku. Talak dalam fatwa itu harus dijatuhklan di depan sidang Pengadilan Agama. Landasannya antara lain adalah prinsip maslahat.
2. Operasionalisasi Sumber dan Metode Pemahamannya
Dalam mengoperasionalisasikan sumber dan metode pemahamannya dilakukan berdasarkan istiqr±’ ma‘naw³. Artinya ijtihad tidak dilakukan berdasarkan satu atau dua hadis, melainkan untuk menemukan hukum satu masalah harus dilakukan penelitian terhadap berbagai sumber syariah yang ada. Dengan kata lain, ijtihad tidak dilakukan dengan berdasarkan kepada sat atau dua hadis saja, melainkan seluruh nas dan metode ijtihad terkait dihadirkan secara serentak. Contoh putusan tarjih dalam kaitan ini adalah putusan tentang seni patung (Putusan Aceh 1995). Termasuk juga dalam kaitan ini adalah ijtihad tentang penggunaan hisab.
3. Ta’±ru« al-Adillah
Jika terjadi ta‘±rud diselesaikan dengan urutan cara-cara sebagai berikut:
  1. Al-jam‘u wa at-tauf³q, yakni sikap menerima semua dalil yang walaupun zahirnya ta‘±rud. Sedangkan pada dataran pelaksanaan diberi kebebasan untuk memilihnya (takhy³r).
  2. At-tarj³h, yakni memilih dalil yang lebih kuat untuk diamalkan dan meninggalkan dalil yang lemah.
  3. An-naskh, yakni mengamalkan dalil yang munculnya lebih akhir.
  4. At-tawaqquf, yakni menghentikan penelitian terhadap dalil yang dipakai dengan cara mencari dalil baru.
E. Pendekatan

Dalam Putusan Tarjih tahun 2000 diJakartadijelaskan bahwa pendekatan dalam ijtihad Muhammadiyah menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Pendekatan bayani menggunakan nas-nas syariah. Penggunaan burhani menggunakan ilmu pengetahuan yang berkembang, seperti dalam ijtihad menggenai hisab. Pendekatan irfani berdasarkan kepada kepekaan nurani dan ketajaman intuisi batin.
F. Beberapa Kaidah tentang Hadis

Kaidah 1

اَلْمَوْقُوْفُ الْمُجَرَّدُ لاَ يُحْتَجُّ بِهِ .
Hadis maukuf murni tidak dapat dijadikan hujjah.
Kaidah 2
اَلْمَوْقُوْفُ الَّذِيْ فِيْ حُكْمِ اْلمَرْفُوْعِ يُحْتَجُّ بِهِ .
Hadis maukuf yang termasuk ke dalam kategori marf­‘ dapat dijadikan hujjah.
Kaidah 3
اَلْمَوْقُوْفُ يَكُوْنُ فِيْ حُكْمِ اْلمَرْفُوْعِ إِذاَ كاَنَ فِيْهِ قَرِيْنَةٌ يُفْهَمُ مِنْهاَ رَفْعُهُ إِلىَ رَسُوْلِ اللهِ (صلعم) كَقَوْلِ ِأُمِّ عَطِيَّةَ : كُناَّ نُؤْمَرُ أَنْ نُخْرِجَ فِيْ اْلعِيْدِ اْلحُيَّضَ (اَلْحَدِيْثَ وَنَحْوَهُ).
Hadis maukuf termasuk kategori marf­‘ apabila terdapat karinah yang daripadanya dapat difahami kemarf­‘annya kepada Rasulullah saw, seperti pernyataan Ummu ‘Athiyyah: “Kita diperintahkan supaya mengajak keluar wanita-wanita yang sedang haid pada Hari Raya” dan seterusnya bunyi hadis itu, dan sebagainya.
Kaidah 4
مُرْسَلُ التَّابِعِيِّ الْمُجَرَّدُ لاَ يُحْتَجُّ بِهِ .
Hadis mursal Tabi‘³ murni tidak dapat dijadikan hujjah.
Kaidah 5
مُرْسَلُ التَّابِعِيِّ يُحْتَجُّ بِهِ إِذاَ كاَنَت ثَمَّ قَرِيْنَةٌ تَدُلُّ عَلَى اتِّصاَلِهِ .
Hadis mursal Tabi‘³ dapat dijadikan hujjah apabila besertanya terdapat karinah yang menunjukkan kebersambungannya.

Kaidah 6
مُرْسَلُ الصَّحاَبِيِّ يُحْتَجُّ بِهِ إِذاَ كاَنَت ثَمَّ قَرِيْنَةٌ تَدُلُّ عَلَى اتِّصاَلِهِ .
Hadis mursal Shahabi dapat dijadikan hujjah apabila padanya terdapat karinah yang menunjukkan kebersambungannya.
Kaidah 7
الأَحاَدِيْثُ الضَّعِيْفَةُ يَعْضَدُ بَعْضُهاَ بَعْضًا لاَ يُحْتَجُّ بِهاَ إِلاَّ مَعَ كَثْرَةِ طُرُقِهاَ وَفِيْهاَ قَرِيْنَةٌ تَدُلُّ عَلَى ثُبُوْتِ أَصْلِهاَ وَلَمْ تُعاَرِضِ اْلقُرْآنَ وَالْحَدِيْثَ الصَّحِيْحَ .
Hadis-hadis dha‘if yang satu sama lain saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah kecuali apabila banyak jalannya dan padanya terdapat karinah yang menunjukkan keotentikan asalnya serta tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis shahih.
Kaidah 8
اَلْجَرْحُ مُقَدَّمٌ عَلَى التَّعْدِيْلِ بَعْدَ اْلبَياَنِ الشَّافِيْ الْمُعْتَبَرِ شَرْعاً .
Jarah (cela) didahulukan atas ta‘dil setelah adanya keterangan yang jelas dan sah secara syara‘.
Kaidah 8
تُقْبَلُ مِمَّنِ اشْتَهَرَ بِالتَّدْلِيْسِ رِوَايَتُهُ إِذَا صَرَّحَ بِماَ ظَاهِرُهُ اْلاِتِّصاَلُ وَكاَنَ تَدْلِيْسُهُ غَيْرَ قاَدِحٍ فِيْ عَداَلَتِهِ .
Riwayat orang yang terkenal suka melakukan tadlis dapat diterima apabila ia menegaskan bahwa apa yang ia riwayatkan itu bersambung dan tadlisnya tidak sampai merusak keadilannya.
Kaidah 9
حَمْلُ الصَّحاَبِيِّ اللَّفْظَ الْمُشْتَرَكَ عَلَى أَحَدِ مَعْنَيَيْهِ وَاجِبُ اْلقَبُوْلِ .
Penafsiran Shahabat terhadap lafal (pernyataan) musytarak dengan salah satu maknanya wajib diterima.
Kaidah 10
حَمْلُ الصَّحاَبِيِّ الظَّاهِرَ عَلَى غَيْرِهِ اَلْعَمَلُ بِالظَّاهِرِ .
Penafsiran Shahabat terhadap lafal (pernyataan) zahir dengan makna lain, maka yang diamalkan adalah makna zahir tersebut. [Penyesuaian penempatan: Huruf H diambil dari HPT, h. 300-301(MTPPI)].
Untuk anda yang ingin mengunduh makalah ini silahkan klick disini.

  • · Makalah disampaikan pada Acara Pelatihan Kader Tarjih Tingkat Nasional Tanggal 26 Safar 1433 H / 20 Januari 2012 di Universitas Muhammadiyah Magelang.
  • ·· Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
    
 C.  Tarjih Muhammadiyah di Bidang Ibadah

Sehubungan dengan sangat pentingnya pembahasan tentang ibadah, maka Lajnah Tarjih telah mencurahkan perhatian yang besar dalam masalah ibadah ini. Terjadinya banyak khilafiyah dalam masalah-masalah ibadah sangat mengkhawatirkan Muhammadiyah. Maka dalam hal ibadah ini, Muhammadiyah berpegang teguh kepada tuntunan Rasulullah SAW. tanpa memberikan tambahan ataupun pengurangan sedikitpun.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam mengambil keputusannya, Muhammadiyah mempunyai ciri khusus dalam masalah ibadah ini, yaitu tidak sebagaimana umumnya dalam kitab-kitab fikih, di mana terdapat syarat, rukun, dan mana yang wajib atau sunnat pada suatu macam rangkaian ibadah. Semuanya tersusun dalam bentuk “tuntunan” tanpa menyebut status hukum dari perbuatan, perkataan, dan rangkaian ibadah tersebut. Argumentasi yang dipegang oleh Muhammadiyah adalah bahwa terjadinya pokok pangkal yang menimbulkan perselisihan dalam masalah ibadah ini adalah karena para ulama terdahulu dalam menghukumkan sesuatu ibadah tersebut antara satu dengan yang lainnya berbeda. Selanjutnya, bila ditanyakan bagaimana jika kita tidak mengamalkan salah satu tuntunan tersebut? Jawabnya, bersediakah kita melaksanakan ibadah sebagaimanayang dituntunkan Rasulullah atau tidak. Apabila dijawab dengan sah atau tidak dalam mengamalkan tuntunan tersebut, berarti membuka tabir perselisihan kembali.
Untuk lebih menjelaskan tuntunan ibadah versi tarjih Muhammadiyah,  berikut ini dikemukakan beberapa contoh:

1. Putusan Tarjih Muhammadiyah tentang Tuntunan Shalat Jum’at
Apabila tiba hari Jum’at, dirikanlah shalat Jum’at dua rakaat dengan berjama’ah (30). Sebelum shalat hendaklah Imam berkhutbah dua kali dengan berdiri dan duduk di antara kedua khutbah itu. Di dalam khutbah Imam supaya membaca beberapa ayat al-Qur’an dan memberikan peringatan-peringatan kepada orang banyak (31). Dan berangkatlah ke masjid pagi-pagi (32). Dan sebelum berangkat mandilah lebih dahulu lalu mengenakan pakaianmu yang terbaik dan kenakanlah (usaplah) wangi-wangian apabila ada padamu, kemudian berangkatlah ke Masjid dengan tenang. Setelah tiba di Masjid shalatlah sekuatmu dan jangan mengganggu seseorang; kemudian apabila Imam berkhutbah dengarkanlah dengan penuh perhatian (33). Apabila kamu masuk Masjid pada waktu Imam sedang berkhutbah, maka kerjakanlah shalat dua raka’at yang ringan (cepatan) (34). Apabila Imam telah duduk di atas mimbar, maka adzanlah salah seorang dari kamu dan apabila Imam telah turun dari mimbar, maka berqamatlah (35). Imam hendaklah memulai khutbahnya dengan ucapah tahmid, tasyahud dan selawat kepada Nabi SAW (36). Lalu berwasiat dengan taqwa dan kemudian berdo’a (37). Dan singkatkanlah khutbah serta agak panjangkanlah shalat (38). Dalam shalat jama’ah hendaklah Imam membaca surat “Sabbih isma rabbika al- a’la, sesudah surat Al-Fatihah pada raka’at pertama dan pada raka’at kedua hendaklah membaca “Hal ata-ka hadits al-gha-syiyah (39). Dan kerjakanlah shalat empat atau dua raka’at sesudahnya (40)[9].

Semua rangkaian tuntunan ini didasarkan kepada Hadis shahih. Di mana Hadis-Hadis tersebut sebagian besar terdapat dalam kitab Shahih Muslim pada Kitab al-Jum’ah.
2. Bacaan al-Fatihah Ma’mum dalam Shalat Jama’ah
Begitu pula dalam masalah yang banyak diperselisihkan oleh para ulama, Lajnah Tarjih juga tidak menyebut status hukumnya. Cukup dimasukkan dalam rangkaian tuntunan jika memang ada dasarnya. Contohnya ialah mengenai bacaan al-Fatihah bagi ma’mum dalam shalat berjama’ah. Sebagaimana diterangkan oleh Ibn Rusyd dalam Bidayah al-Mujtahid, bahwa ulama telah sepakat, di mana Imam Malik tidak menanggung ma’mum mengenai fardlu shalat, kecuali bacaan al-Al-Fatihah. Mengenai bacaan al-Fatihah bagi ma’mum para ulama telah berbeda pendapat. Imam Malik berpendapat bahwa ma’mum dalam shalat sirri membaca al-Fatihah bersama-sama imam, dan tidak membacanya dalam shalat jahar. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bacaan al-Fatihah gugur pada pihak ma’mum, baik pada shalat sirri maupun pada shalat jahar. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa ma’mum wajib membaca al-Fatihah saja dalah shalat jahriyah, dan membaca al-Fatihah beserta surat apabila shalat sirriyah. Imam Ahmad ibn Hanbal mewajibkan membaca al-Fatihah waktu tidak terdengarnya bacaan imam, baik karena bacaannya sirr atau karena jauhnya, dan melarang membacanya waktu didengarnya bacaan imam.[10]
Sehubungan dengan masalah ini, Lajnah Tarjih telah mengambil keputusan dengan ciri khas sebagaimana disebutkan di atas, sbb: “Hendaklah kamu memperhatikan dengan tenang bacaan Imam apabila keras bacaannya, maka janganlah kamu membaca sesuatu selain surat al-Fatihah (22).”[11]
Dari keputusan tersebut mengandung pengertian bahwa ma’mum diharuskan membaca al-Fatihah pada shalat jaharmaupun dalam shalat sirri. Melihat putusan Lajnah Tarjih ini, ternyata pendapatnya sama dengan Imam Syafi’i. Adapun dalil yang digunakannya ialah sebagaimana dicantumkan dalam HPT sebagai berikut:
لحديث عبادة بن الصامت رض. ان رسول الله صلعم. قال: لاصلاة لمن لم يقرأ بفاتحة االكتاب (متفق عليه). ولحديت عبادة قال: صلّى رسول الله صلعم. الصبح فثقلت عليه القراءة. فلما انصرف قال: انى اراكم تقرءون وراء امامكم. قال: قلنا، يا رسول الله إى و الله. قال: لا تفعلوا الاّ بأم القران (رواه احمد والدارقطنى والبيهقى). ولما رواه ابن حبان من حديث انس قال: قال رسول الله صلعم.: اتقرءون فى صلاتكم خلف الامام والامام يقرأ؟ فلا تفعلوا، واليقرأ احدكم بفا تحة الكتاب فى نفسه.
“Mengingat Hadis ‘Ubadah ibn Shamit bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Tiada sah shalat orang yang tak membaca permulaan Kitab (al-Fatihah)” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Dan ada lagi Hadis ‘Ubadah dari riwayat Ahmad, al-Daruquthni dan al-Baihaqi, katanya: “Rasulullah SAW. shalat shubuh, maka beliau mendengar orang-orang yang ma’mum nyaring bacaannya. Setelah selesai beliau menegur: Aku kira kamu sama membaca di belakang imammu? Kata ‘Ubadah: Kita sama menjawab: Ya Rasulallah, demi Allah, benar!. Maka sabda beliau: Janganlah kamu mengerjakan demikian, kecuali dengan bacaan al-Fatihah”. Dan mengingat pula Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Annas, yang berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Apakah kamu membaca dalam shalatmu di belakang imammu, padahal imam itu membaca? Janganlah kamu mengerjakannya, hendaklah seseorang membaca al-Fatihah pada dirinya (dengan suara rendah yang hanya didengar sendiri)”.[12]

Hadis-Hadis tersebut dapat kita temui dalam kitab-kitab: Shahih Muslim pada Kitab al-Shalat, Shahih al-Bukhari pada Kitab al-Shalat, Shahih al-Tirmidzi Juz I Abwab al-Shalat, dan dalam Sunan al-Baihaqi.

3. Putusan Tentang Qunut
Masalah qunut termasuk masalah klasik dan terus berbeda pendapat di kalangan umat Islam. Hal ini disebabkan telah berpengaruhnya pendapat para ulama dahulu yang memang sudah memperselisihkannya. Di antara fuqaha ada yang berpendapat bahwa qunut shubuh itu hukumnya mustahab (disukai). Ini adalah pendapat Imam Malik. Menurut Imam Syafi’i hukumnya dalam shalat shubuh itu sunnat. Lain lagi dengan Imam Abu Hanifah tidak boleh qunut dalam shalat shubuh, tetapi qunut hanya boleh dikerjakan dalam shalat witir, dan sebagian fuqaha berpendapat bahwa qunut itu dapat dilakukan dalam setiap saat.[13]
Mengenai qunut ini tarjih Muhammadiyah berpendapat bahwa qunut dalam pengertian berdiri lama untuk membaca do’a di dalam shalat memang ada tuntunannya. Tetapi tidak membenarkan qunut itu khusus untuk shalat shubuh. Jadi qunut sebagai bagian daripada shalat, tidak khusus hanya diutamakan pada shalat shubuh. Sedangkan mengenai qunut witir, tarjih Muhammadiyah mengambil keputusan tawaqquf, sebagaimana disebutkan di muka.

4. Puasa bagi Orang Hamil dan Menyusui
Putusan tentang masalah apakah orang hamil dan menyusui yang meninggalkan puasanya wajib qadha atau fidyah saja, juga masalah baru dalam masalah khilafiyah. Dalam masalah ini terdapat perbedaan di kalangan para ulama, yaitu menjadi empat golongan. Pertama, mengatakan bahwa bagi orang hamil dan menyusui yang meninggalkan puasa cukup membayar fidyah saja, dan tidak wajib atasnya mengqadha. Landasan mereka adalah Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Umar dan Ibn ‘Abbas. Kedua, yaitu yang dikemukakan oleh Abu Hanifah dan para sahabatnya, bahwa orang hamil dan menyusui wajib mengqadha saja, dan tidak perlu membayar fidyah. Ketiga, merupakan pendapat Imam Syafi’i, bahwa orang hamil dan menyusui itu keduanya harus mengqadha dan juga membayar fidyah. Keempat, membedakan antara orang hamil dan menyusui. Pada orang hamil hanya wajib mengqadha, sedang orang yang menyusui atasnya wajib qadha dan fidyah.[14]
Sehubungan dengan masalah ini, tarjih Muhammadiyah telah mengambil putusan sebagaimana dapat dilihat dalam HPT sbb: “Dan bila berpuasa itu terasa terlalu berat bagimu karena tuamu (10) atau sakit lama yang tidak diharapkan sembuhnya, maka boleh berbuka, tetapi berfidyah dengan memberi makan kepada orang miskin buat setiap harinya satu mud (11) begitu juga karena mengandung atau menyusui (12)”.[15]
Di sini jelas bahwa Muhammadiyah berpendapat orang yang hamil/mengandung dan menyusui di mana ia meninggalkan puasa, kepadanya hanya dikenakan untuk membayar fidyah, sebagaimana orang tua dan orang sakit yang tidak diharapkan lagi sembuhnya. Dalam hal ini pandangan Muhammadiyah kebetulan sama dengan pandangan golongan yang pertama, yang menguatkan dalilnya dengan Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Umar dan Ibn ’Abbas.
Adapun dalil yang menjadi landasan Lajnah Tarjih Muhammadiyah sebagaimana tercantum dalam HPT sbb:
لحديث انس بن مالك الكعبي ان رسول الله صلعم. قال: ان الله عز وجل وضع عن المسافر الصوم وشطر الصلاة وعن الحبلى و المرضع الصوم (رواه الخمسة). وكان ابن عباس يقول لام ولدله حبلى: انت بمترلة الذى يطيقه، فعليك الفداء ولا قضاء عليك (رواه البزار و صححه الدارقطنى). واخرج ابوداود عن ابن عباس انه قال: اثبت للحبلى والمرضع ان يفطرا ويطعما كل يوم مسكينا.
“Menurut Hadis Anas ibn Malik al-Ka’biyyi bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Sungguh Tuhan Allah Yang Maha Besar dan Mulia telah membebaskan puasa dan separoh shalat bagi orang yang bepergian, serta membebaskan puasa dari orang hamil dan menyusui” (HR al-Khamsah). “Dan Ibn ‘Abbas berkata kepada jariyahnya yang hamil: Engkau termasuk orang yang keberatan berpuasa, maka engkau hanya wajib berfidyah dan tidak usah mengganti puasa” (HR. al-Bazzar ditashihkan oleh al-Daruquthni). “Dan diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibn ‘Abbas, bahwa ia berkata: Ditetapkan bagi orang yang mengandung dan menyusui untuk berbuka (tidak berpuasa) dan sebagai gantinya memberi makan kepada orang miskin setiap harinya”.[16] 
Hadis-Hadis di atas dapat ditemui dalam kitab Sunan Abu Dawud dalam Kitab Shaum, Juz II.

D.  Tarjih Muhammadiyah di Bidang Mu’amalah
Pandangan Muhammadiyah dalam hal mu’amalah agak lebih fleksibel, tidak seketat dalam hal ibadah. Persoalan-persoalan atau masalah-masalah mu’amalah duniawiyah bagi Muhammadiyah memegang prinsip ajaran Islam, sesuai dengan sabda Nabi: “Antum a’lamu bi umuri dunya-kum (kamu lebih tahu masalah duniamu)”. Hal lain yang menjadikan landasan Muhammadiyah tentang kelenturan dalam bidang mu’amalah duniawiyah, dikarenakan persoalan-persoalan ini terus berkembang, sejalan dengan perkembangan zaman itu sendiri. 
Pada makalah akan dipaparkan salah satu persoalan bagaimana pandangan Muhammadiyah dalam menghadapi masalah-masalah yang bersifat kontemporer. Labih menarik lagi jika pembahasan ini menyangkut hal-hal yang bersifat aktual, walaupun persoalan itu sendiri telah lama terjadi, yaitu masalah tentang aborsi.
Aborsi atau abortus secara bahasa berarti keguguran, pengguguran kandungan atau membuang janin.[17] Dalam arti yang lebih rinci, abortus ialah “keadaan di mana terjadi pengakhiran atau ancaman pengakhiran kehamilan sebelum fetus hidup di luar kandungan.[18]
Menurut para ahli medis, ada dua macam aborsi atau abortus. Pertama, abortus spontaneus, yaitu abortus yang terjadi secara spontan atau tidak disengaja. Abortus spontaneus bisa terjadi karena salah satu pasangan berpenyakit kelamin, kecelakaan, dan sebagainya. Kedua, abortus provocatus, yaitu abortus yang disengaja. Abortus provocatus ini terdiri dari dua jenis, yaitu abortus artificialis therapicus dan abortus provocatus criminalis. Abortus artificialis therapicus adalah abortus yang dilakukan oleh dokter atas dasar indikasi medis, yakni apabila tindakan abortus tidak diambil bisa membahayakan jiwa ibu. Sedangkaan abortus provocatus criminalis adalah abortus yang dilakukan tanpa dasar indikasi medis. Misalnya, aborsi yang dilakukan untuk meleyapkan janin dalam kandungan akibat hubungan seksual di luar pernikahan, atau mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki.[19]
Dalam menyelesaikan masalah abortus ini, kelihatannya Muhammadiyah sudah cukup maju dibandingkan dengan para ahli fikih dan ahli tafsir terdahulu. Adapun dalil yang dijadikan dasar untuk menetapkan proses kejadian manusia adalah sebagai berikut:
ولقد خلقنا الإ نسان من سلالة من طين، ثم جعلناه نطفة فى قرار مكين، ثم خلقنا النطفة علقة فخلقنا العلقة مضغة فخلقنا  المضغة عظاما فكسونا العظام لحما، ثم انشأناه خلقا اخر، فتبارك الله احسن الخالقين (المؤمنون: 13- 14 ).
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah. Pencipta Yang Paling Baik” (QS. Al-Mu’minun: 13-14).
ان احدكم يجمع خلقه فى بطن امه اربعين يوما نطفة، ثم يكون علقة مثل ذلك، ثم يكون مضغة مثل ذلك، ثم يرسل اليه الملك وينفخ فيه الروح (متفق عليه واللفظ لمسلم).
 “Bahwasanya salah seorang kamu dihimpun dapam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk air mani, kemudian selama 40 hari berikutnya dalam bentuk segumpal darah, kemudian 40 hari berikutnya dalam bentuk segumpal daging, kemudian Malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh”. (HR. Muttafaq ‘alaih, dengan lafazh Muslim).[20]

Ketika memahami teks al-Qur’an dan al-Hadis di atas, Muhammadiyah telah menggunakan analisis ilmu pengetahuan modern di bidang ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya, termasuk filsafat. Berdasarkan pemahaman yang multi disipliner itu, Muhammadiyah berpendapat bahwa pengguguran kandungan sejak pembuahan hukumnya haram.[21] Hal ini berarti, bahwa usia kandungan empat bulan atau 120 hari, seperti dijelaskan dalam Hadis di atas tidak dianggap sebagai batas kehidupan manusia. Oleh karena itu, Muhammadiyah tidak begitu saja menerima penjelasan yang terdapat dalam Hadis Nabi tentang “peniupan ruh” itu. Secara eksplisit Hadis itu menyatakan bahwa pada usia 40 hari yang ketiga (120 hari) dari proses kejadian manusia, Allah mengutus Malaikat untuk meniupkan ruh kepada janin yang ada dalam rahim ibunya. Namun Muhammadiyah tidak menerima pendapat bahwa ruh dalam Hadis itu berarti nyawa yang menyebabkan janin menjadi hidup (Hadis di atas diartikan peniupan ruh itu sebagai nyawa untuk hidup, Muhammadiyah tidak sependapat dengan itu). Alasan yang dikemukakannya adalah bahwa kenyataan menunjukkan bahwa pembuahan itu sendiri telah dinyatakan hidup kemudian berkembang menjadi ‘alaqat, dan berikutnya menjadi mudghat sampai 120 hari.[22]
Menurut Muhammadiyah, ruh yang ditiupkan oleh Malaikat ke dalam janin yang telah berusia empat bulan itu bukanlah ruh hayati, melainkan adalah ruh insani.[23] Pemahaman dan penalaran seperti ini menarik untuk dianalisis lebih lanjut. Kelihatannya, penalaran Muhammadiyah dalam hal ini telah dipengaruhi oleh pemikiran ahli filsafat Islam dan ahli kedokteran. Dalam filsafat Islam, jiwa itu bukanlah hayat. Manusia, dalam konsep filsafat Islam terdiri dari tiga unsur: tubuh, hayat dan jiwa.[24] Dengan demikian, hayat itu saja sudah ada sejak terjadinya pembuahan, bukan setelah janin berusia empat bulan. Pengaruh filsafat Islam lainnya terhadap pemikiran Muhammadiyah juga dapat dilihat dalam memahami ayat al-Qur’an dan al-Hadis tentang proses kejadian manusia itu, bahwa sebagaimana diketahui para filosof muslim tidak segan-segan mentakwil teks al-Qur’an dan al-Hadis sesuai dengan jalan pikiran mereka.
Tegasnya, dengan melalui analisis di atas, Muhammadiyah berpendapat bahwa abortus provocatus criminalis sejak terjadinya pembuahan hukumnya haram. Sedangkan abortus artificialis therapicus atau abortus provocatus medicinalis dapat dibenarkan dalam keadaan darurat, terutama karena adanya kekhawatiran atas keselamatan ibu waktu mengandung. Argumentasi lainnya adalah sbb:

ولاتقتلوا بايديكم الى التهلكة... (البقرة: 195)

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…”(QS. al-Baqarah:195).
ولاتقتلوا انفسكم ان الله كان بكم رحيما (النساء:29)
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu: sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. Al-Nisa’:29).
فمن اضطر غير باغ ولاعاد فلا اثم عليه (البقرة:173 )
“Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya” (QS. Al-Baqarah:173).

Selain ayat-ayat al-Qur’an di atas, Muhammadiyah juga menggunakan kaidah fiqhiyah, sebagai berikut:

الضرورات تبيح المحضورات

“Keadaan memaksa menjadikan bolehnya yang terlarang.”

اذا تعارضا مفسداتان روعى أعظمهما ضرارا بار تكاب أخفّهما

“Jika berbenturan antara dua mafsadat, maka harus diperhatikan yang peling besar madharatnya dengan cara mengerjakan yang paling ringan madharatnya”.

Berdasarkan argumentasi Muhammadiyah di atas, dapat dikatakan bahwa menyelamatkan ibu, yang eksistensinya sudah jelas dan sudah mempunyai hak dan kewajiban, harus didahulukan daripada menyelamatkan janin yang belum dilahirkan. Pengguguran janin dengan kesengajaan seperti itu adalah madharat, namum kematian ibu disebabkan menyelamatkan janin juga adalah madharat. Madharat yang kedua jauh lebih besar daripada yang pertama. Kematian ibu akan membawa dampak yang tidak baik bagi keluarga yang ditinggalkannya. Oleh karenanya diperbolehkan melakukan aborsi dalam kondisi darurat seperti itu.

Penutup
Memperhatikan uraian dalam makalah ini, yaitu pandangan tarjih Muhammadiyah dalam bidang ibadah dan mu’amalah, ada segi-segi prinsip yang berbeda di antara keduanya, di mana dalam hal ibadah pandangan Muhammadiyah terlihat kaku dan tegas, dengan tidak mentolerir, atau berpegang kepada salah satu madzhab, tetapi hanya berpegang kepada al-Qur’an dan petunjuk Rasul-Nya. Ketegasan Muhammadiyah dalam bidang ibadah dilandasi dengan hasratnya yang kuat untuk menghindari perselisihan pendapat yang tidak pernah berkesudahan. Semestinyalah dalam masalah ibadah ini tidak akan terjadi perubahan, dengan berubahnya masa atau zaman. Shalat di masa Nabi, sama dengan shalat di masa sekarang, kecuali dalam hal-hal tertentu, itupun telah pula disyari’atkan. Jalan satu-satunya berpeganglah kepada madzhab yang satu, yaitu madzhab Rasulullah SAW.
Dalam hal-hal yang menyangkut mu’amalah duniawiyah lebih fleksibel, lebih lentur, bahkan bisa jadi pandangan Muhammadiyah yang sekarang belum tentu sama dengan pandangannya di hari sebelumnya atau di kemudian harinya. dalam hal ibadah pandangan Muhammadiyah terlihat kaku dan tegas, dengan tidak memtolerir, atau berpegang kepada salah satu madzhab, tetapi hanya berpegang kepada al-Qur’an dan petunjuk Rasul-Nya. Kelenturan Muhammadiyah dalam memahami persoalan mu’amalah, dikarenakan masalah mu’amalah terus berkembang sepanjang perkembangan masa atau zaman itu sendiri.





DAFTAR PUSTAKA


Written by : Your Name - Describe about you

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Etiam id libero non erat fermentum varius eget at elit. Suspendisse vel mattis diam. Ut sed dui in lectus hendrerit interdum nec ac neque. Praesent a metus eget augue lacinia accumsan ullamcorper sit amet tellus.

Join Me On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for visiting ! ::

0 komentar:

Posting Komentar